Jumat, 06 September 2013

teori pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    TEORI PENDIDIKAN
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan praktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses belajar-mengajar dan manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki keterkaitan dengan teori pendidikan atau dalam penyusunan suatu kurikulum dan rencana pembelajaran ini mengacu pada teori pendidikan. Teori pendidikan ini dibagi menjadi empat, yaitu pendidikan klasik, pendidikan personal, teknologi pendidikan, dan pendidikan interaksional.[1]

1.      Teori Pendidikan Klasik (Classical Education)
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme, essensialisme, dan eksistensialisme, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan pada peranan isi pendidikan dari pada proses.[2] Isi pendidikan atau materi diambil dari khasanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Selain itu pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses “penelitian” melalui metode ekspositori dan inkuiri.[3] Metode ekspositori merupakan Metode pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud supaya siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal, sedangkan metode inkuiri yakni metode pembelajaran yag menekankan pada mencari dan menemukan, maksudnya siswa berperan aktif untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari suatu masalah yang dipertanyakan, sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator dan membimbing siswa untuk belajar.[4]
2.      Teori Pendidikan Personal (Personalized Education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan bakat-bakat atau potensi yang dimiliki setiap anak dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Sehingga peserta didik menjadi pelaku utama dalam pendidikan, sedangkan pendidik menempati posisi kedua yakni berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator, dan pelayanan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yakni aliran pendidikan progesif dan aliran pendidikan romantik. Pendidikan progresif dipelopori oleh Francis Parker dan John Dewey.[5] Progresitivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai wujud reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).[6] Dengan kata lain, peserta didik merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sehingga materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai denga minat dan kebutuhannya. Sehingga pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatan masing-masing. Sedangkan pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran J. J. Rouseau tentang tabula rasa yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan[7].
Teori personal, menjadi dasar berkembangnya model kurikulum humanis, yaitu kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis ini merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual.[8]
3.      Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan merupakan suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun keduanya ini memiliki perbedaan, yakni dalam teknologi pendidikan lebih mengutamakan pada pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.
Selain itu, dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan berupa objek dan keterampilan yang mengarah pada kemampuan vokasional. Isi disusun dalam bentuk desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan media elektronik, dan para peserta didik belajar secara individual. Sehingga pendidik berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak pada tugas-tugas pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber berkembangnya model kurikulum yakni model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi peserta didik, sehingga pembelajarannya menggunakan media pembelajaran individual, media buku maupun media elektronik.  
4.      Teori Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerjasama. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak yakni dari pendidik pada peserta didik dan dari peserta didik pada pendidik. Selain itu interaksi juga terjadi pada peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Dalam pendidikan interaksional, belajar bukan sekadar mempelari fakta-fakta, tetapi peserta didik juga mengadakan ekperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh dan memahaminya dalam konteks kehidupan. Pendidikan interaksional ini mendorong timbulnya kurikulum rekontruksi sosial yakni model kurikulum yang bertujuan menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan yang dihadapi manusia.[9] Sehingga siswa didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah sosial yang mendesak dan bekerja sama untuk memecahkannya.
B.     PILAR-PILAR PENDIDIKAN
UNESCO merupakan salah satu organisasi perserikatan bangsa-bangsa untuk Pendidikan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan telah menggariskan lima pilar pendidikan yakni learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk berbuat atau bekerja), learning to be (belajar untuk menjadi), learning to life together (belajar untuk hidup bersama, hidup berdampingan dan bersahabat antarbangsa), dan learning how to learn.
1.      Learning to know
Belajar untuk mengetahui bukan sebatas proses belajar di mana pebelajar atau siswa mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Sehingga dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang tidak hanya melaui logika empirismenya tetapi juga secara transendental, yakni kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual. 
2.      Learning to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Sehingga apa yang sudah mereka ketahui akan mereka terapkan atau mereka aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Kelemahan dari model pendidikan dan pengajaran selama ini adalah mengajarkan “omong” atau mengajarakan teori dan kurang menuntun orang untuk berbuat atau praktik. Learnig to do bukanlah pembelajaran yang hanya menumbuh kembangkan kemampuan berbuat mekanis dan keterampilan tanpa pemikiran, tetapi juga mendorong peserta didik agar terus belajar bagaimana menumbuh kembangkan kerja, dan mengembangkan teori atau konsep. Selain itu siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sehingga pembelajaran perlu didesain secara aplikatif agar peserta didik dapat ikut berperan dalam proses belajar baik fisik, mental maupun emosinya.[10]
3.      Learning to be
Learning to be merupakan salah satu pilar pendidikan yang akan menuntun siswa menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya atau melatih siswa untuk meningkatkan rasa percaya diri. Karena percaya diri ini merupakan modal utama dalam bermasyarakat. Menurut Robinson Crussoe mengatakan bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerjasama atau manusia saling tergantung dengan manusia lain, sehingga manusia akan hanyut ditelan waktu jika tidak berpegang pada jati dirinya.[11]
4.      Learning to live together
Learning live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi manusia berpendidikan yang bermanfaat untuk dirinya maupun masyarakatnya serta bagi seluruh umat manusia. Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervarisai akan membentuk kepribadian pebelajar untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
5.      Learning how to learn
Proses belajar tidak boleh berhenti begitu saja meskipun seseorang pembelajar telah menyelesaikan sekolahnya. Manusia hidup pada hakikatnya adalah berhadapan masalah sehingga manusia dituntut untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, dan efisien, serta penuh percaya diri, karena masyarakat adalah learning society.
Oleh karena itu, Learning how to learn memerlukan model pembelajaran baru, yakni model belajar mencari atau meneliti, yang mengubah model belajar menghafal. Hal ini dikarenakan asumsi model belajar menghafal adalah pendidik tahu sedangkan siswa tidak tahu, pendidik memberi pelajaran peserta didik menerima. Sehingga model belajar menghafal ini adalah penerima pelajaran menyimpan selama-lamanya, dan menggunakan sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sedangkan proses belajar mencari, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidikan dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi dan menelusuri.



[1] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal. 141.
[2] Ibid., hal. 141.
[3] Ibid., hal. 141
[4] Dina Octaria. 2012. Metode Pembelajaran Ekspositori discovery dan Inquir. Dalam http://dinaoctaria.wordpress.com/2012/10/15/metode-pembelajaran-ekspositori-discovery-dan-inquir/  senin, 18 Februari 2013, Pukul 11.15 WIB.

[5] Ibid., hal. 141-142
[6] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal.142.
[7] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, hal. 142.
[8] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, hal. 142-143.
[9] Ibid., hal: 143.
[10] Irsyakhafid. 2011. “Pilar Pendidikan Menurut Unesco dan Pilar pendidikan di Indonesia’’dalam
[11] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, hal. 144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar