BAB
II
PEMBAHASAN
A. TEORI PENDIDIKAN
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan
praktik pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses belajar-mengajar
dan manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki keterkaitan dengan
teori pendidikan atau dalam penyusunan suatu kurikulum dan rencana pembelajaran
ini mengacu pada teori pendidikan. Teori pendidikan ini dibagi menjadi empat,
yaitu pendidikan klasik, pendidikan personal, teknologi pendidikan, dan
pendidikan interaksional.[1]
1. Teori
Pendidikan Klasik (Classical Education)
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat
klasik, seperti perenialisme, essensialisme, dan eksistensialisme, yang
memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan
meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan pada peranan
isi pendidikan dari pada proses.[2]
Isi pendidikan atau materi diambil dari khasanah ilmu pengetahuan yang
ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis
dan sistematis. Selain itu pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan
model kurikulum subjek akademis, yaitu kurikulum yang bertujuan memberikan
pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan
proses “penelitian” melalui metode ekspositori dan inkuiri.[3] Metode
ekspositori merupakan Metode pembelajaran yang menekankan pada proses
penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa
dengan maksud supaya siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal,
sedangkan metode inkuiri yakni metode pembelajaran yag menekankan pada mencari
dan menemukan, maksudnya siswa berperan aktif untuk mencari dan menemukan
jawaban sendiri dari suatu masalah yang dipertanyakan, sehingga guru hanya
berperan sebagai fasilitator dan membimbing siswa untuk belajar.[4]
2. Teori
Pendidikan Personal (Personalized Education)
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa
sejak lahir anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus
dapat mengembangkan bakat-bakat atau potensi yang dimiliki setiap anak dengan bertolak
dari kebutuhan dan minat peserta didik. Sehingga peserta didik menjadi pelaku
utama dalam pendidikan, sedangkan pendidik menempati posisi kedua yakni
berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator, dan pelayanan peserta
didik.
Teori ini memiliki dua aliran yakni aliran
pendidikan progesif dan aliran pendidikan romantik. Pendidikan progresif
dipelopori oleh Francis Parker dan John Dewey.[5]
Progresitivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai wujud reaksi
terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru
(teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).[6]
Dengan kata lain, peserta didik merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sehingga
materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai
denga minat dan kebutuhannya. Sehingga pendidik lebih merupakan ahli dalam
metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan
kecepatan masing-masing. Sedangkan pendidikan romantik berpangkal dari
pemikiran J. J. Rouseau tentang tabula rasa yang memandang setiap individu
dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan[7].
Teori personal, menjadi dasar berkembangnya model
kurikulum humanis, yaitu kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan
mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi
diri. Kurikulum humanis ini merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih
menekankan pada aspek intelektual.[8]
3. Teknologi
Pendidikan
Teknologi pendidikan merupakan suatu konsep pendidikan
yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan
dalam menyampaikan informasi. Namun keduanya ini memiliki perbedaan, yakni
dalam teknologi pendidikan lebih mengutamakan pada pembentukan dan penguasaan
kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan
budaya lama.
Selain itu, dalam konsep pendidikan teknologi, isi
pendidikan berupa objek dan keterampilan yang mengarah pada kemampuan vokasional.
Isi disusun dalam bentuk desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan
media elektronik, dan para peserta didik belajar secara individual. Sehingga
pendidik berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak pada tugas-tugas
pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan
menjadi sumber berkembangnya model kurikulum yakni model kurikulum yang
bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi peserta didik, sehingga
pembelajarannya menggunakan media pembelajaran individual, media buku maupun
media elektronik.
4. Teori
Pendidikan Interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep
pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial
yang senantiasa berinteraksi dan bekerjasama. Dalam pendidikan interaksional
menekankan interaksi dua pihak yakni dari pendidik pada peserta didik dan dari
peserta didik pada pendidik. Selain itu interaksi juga terjadi pada peserta
didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran
manusia dengan lingkungannya. Dalam pendidikan interaksional, belajar bukan
sekadar mempelari fakta-fakta, tetapi peserta didik juga mengadakan
ekperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat
menyeluruh dan memahaminya dalam konteks kehidupan. Pendidikan interaksional
ini mendorong timbulnya kurikulum rekontruksi sosial yakni model kurikulum yang
bertujuan menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan yang
dihadapi manusia.[9]
Sehingga siswa didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah
sosial yang mendesak dan bekerja sama untuk memecahkannya.
B. PILAR-PILAR
PENDIDIKAN
UNESCO merupakan salah satu organisasi perserikatan bangsa-bangsa
untuk Pendidikan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan telah menggariskan lima pilar
pendidikan yakni learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do
(belajar untuk berbuat atau bekerja), learning to be (belajar untuk menjadi),
learning to life together (belajar untuk hidup bersama, hidup berdampingan dan
bersahabat antarbangsa), dan learning how to learn.
1. Learning
to know
Belajar untuk mengetahui bukan sebatas proses
belajar di mana pebelajar atau siswa mengetahui dan memiliki materi informasi
sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan untuk dapat
memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Sehingga dengan
learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah
diharapkan bisa berkembang tidak hanya melaui logika empirismenya tetapi juga
secara transendental, yakni kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai
spiritual.
2. Learning
to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning
to know. Sehingga apa yang sudah mereka ketahui akan mereka terapkan atau
mereka aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Kelemahan dari model
pendidikan dan pengajaran selama ini adalah mengajarkan “omong” atau
mengajarakan teori dan kurang menuntun orang untuk berbuat atau praktik. Learnig
to do bukanlah pembelajaran yang hanya menumbuh kembangkan kemampuan berbuat
mekanis dan keterampilan tanpa pemikiran, tetapi juga mendorong peserta didik
agar terus belajar bagaimana menumbuh kembangkan kerja, dan mengembangkan teori
atau konsep. Selain itu siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu
perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Sehingga pembelajaran perlu didesain secara aplikatif agar peserta
didik dapat ikut berperan dalam proses belajar baik fisik, mental maupun
emosinya.[10]
3. Learning
to be
Learning to be merupakan salah satu pilar pendidikan
yang akan menuntun siswa menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan
nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya
atau melatih siswa untuk meningkatkan rasa percaya diri. Karena percaya diri
ini merupakan modal utama dalam bermasyarakat. Menurut Robinson Crussoe
mengatakan bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerjasama atau
manusia saling tergantung dengan manusia lain, sehingga manusia akan hanyut
ditelan waktu jika tidak berpegang pada jati dirinya.[11]
4. Learning
to live together
Learning live together ini mengajarkan seseorang
untuk hidup bermasyarakat dan menjadi manusia berpendidikan yang bermanfaat
untuk dirinya maupun masyarakatnya serta bagi seluruh umat manusia. Kesempatan
berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervarisai akan
membentuk kepribadian pebelajar untuk memahami kemajemukan dan melahirkan
sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
5. Learning
how to learn
Proses belajar tidak boleh berhenti begitu saja
meskipun seseorang pembelajar telah menyelesaikan sekolahnya. Manusia hidup
pada hakikatnya adalah berhadapan masalah sehingga manusia dituntut untuk
menyelesaikannya. Oleh karena itu, learning how to learn akan membawa peserta
didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat belajar yang
lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, dan efisien, serta penuh percaya
diri, karena masyarakat adalah learning society.
Oleh karena itu, Learning how to learn memerlukan
model pembelajaran baru, yakni model belajar mencari atau meneliti, yang
mengubah model belajar menghafal. Hal ini dikarenakan asumsi model belajar
menghafal adalah pendidik tahu sedangkan siswa tidak tahu, pendidik memberi
pelajaran peserta didik menerima. Sehingga model belajar menghafal ini adalah
penerima pelajaran menyimpan selama-lamanya, dan menggunakan sesuai dengan
aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sedangkan proses belajar mencari,
peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidikan dituntut membimbing,
memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi dan menelusuri.
[1] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hal.
141.
[2] Ibid.,
hal. 141.
[3] Ibid.,
hal. 141
[4] Dina Octaria. 2012. Metode
Pembelajaran Ekspositori discovery dan Inquir. Dalam http://dinaoctaria.wordpress.com/2012/10/15/metode-pembelajaran-ekspositori-discovery-dan-inquir/ senin, 18 Februari 2013, Pukul
11.15 WIB.
[6] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
hal.142.
[7] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, hal. 142.
[8] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, hal. 142-143.
[9] Ibid.,
hal: 143.
[10]
Irsyakhafid. 2011. “Pilar Pendidikan Menurut
Unesco dan Pilar pendidikan di Indonesia’’dalam
http://irsyakhafid.wordpress.com/2011/12/17/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco-dan-5-pilar
pendidikan-di-indonesia/. Minggu, 17
Februari 2013, Pukul 11.10 WIB.
[11] Abdul Kadir, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, hal. 144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar